Senin, 26 Januari 2009

Ketua KPK Antasari Azhar, atau Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji yang Asal Bicara?

Disebelah kiri ini adalah Asli Surat dari BPKP Deputi Bidang Investigasi Suradji Nomor: S-1075/D6/2/2007 tanggal 28 September 2007 dalam menjawab Surat Nomor: 01/YKPC/Sept-2007 tanggal 10 September 2007 dari Ketua Badan Pendiri Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex, selaku Pelapor. Surat Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji tersebut menginformasikan bahwa Kegiatan Audit Investigasi yang telah selesai dilakukan oleh BPKP Perwakilan DKI Jakarta II, telah disampaikan oleh Deputi Bidang Investigasi BPKP (Suradji) kepada Pimpinan KPK dengan surat No. R-923/D6/02/2007 tanggal 14 Agustus 2007 dibawah ini.





Berikut dibawahnya/disamping ini adalah fotokopi Surat Deputi Bidang Investigasi Suradji kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor: R-923/D6/02/2007 tanggal 14 Agustus 2007 dimaksud diatas, yang isinya cukup jelas, yang merupakan lampiran dari Surat BPKP Deputi Bidang Investigasi Suradji Nomor: S-1075/D6/2/2007 tanggal 28 September 2007 kepada Ketua Badan Pendiri Yayasan Kesehatan Pensiunan Caltex selaku Pelapor.




Selanjutnya dalam tayangan wawancara“Kerah Putih” dari tvOne pada bulan Maret 2008 (yang juga kami kirimkan/dapat langsung diakses melalui You-Tube http://www.youtube.com/watch?v=wRY3C4hbi3A), Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji dengan lugas mengungkapkan bahwa Audit Investigatif yang dilakukan oleh BPKP adalah atas permintaan KPK (Surat Pimpinan KPK Nomor: R-561/KPK/VIII/ 2004 tanggal 18 Agustus 2004 atau sekitar 3 (tiga) tahun sebelumnya, sebagaimana disebutkan di dalam surat Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji Nomor: R-923/D6/02/2007 tanggal 14 Agustus 2007 diatas). Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji selanjutnya menegaskan bahwa Rescue Package Sebagai "Cost Recovery" (Biaya Penggantian) tersebut telah memenuhi ketiga-tiga unsur tindak pidana korupsi yang menjadi persyaratannya, yaitu Adanya Kerugian Keuangan Negara, Ada Penyimpangan Peraturan (Penyalahgunaan Wewenang, Penyalahgunaan Kekuasaan atau Penyalahgunaan Jabatan) dan Ada yang diuntungkan. Dengan perkataan lain, kalau salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka tidak dapat disebut tindak pidana korupsi.



Sedangkan Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan bahwa Pengaduan harus melalui Bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK. Tidak boleh hanya berdasarkan cerita-cerita atau fotokopi temuan dari BPK atau BPKP dan harus ada bukti awal yang cukup. Perlu pendalaman atau didalami. Padahal pengaduan sudah dilakukan oleh Pelapor sesuai prosedur, yaitu melalui Dumas KPK sejak akhir bulan Desember 2003. Demikian juga dengan bukti yang ada yang tersedia lebih dari cukup, sehingga KPK dapat dan bahkan telah meminta bantuan BPKP untuk melakukan Audit Investigatif. Hasil investigatif-nya pun sudah sangat jelas. Apalagi maunya KPK ?



Namun demikian, yang sudah pasti dan juga jelas adalah bahwa, mantan pimpinan (Wakil Ketua) KPK Erry Riyana Hardjapamekas yang adalah Direktur Utama PT. Timah Tbk. 1996 – Maret 2002 dengan 20% sahamnya di PT. Asuransi Jiwa Tugu Mandiri (PT. AJTM), adalah juga Komisaris di PT. AJTM, waktu PT. AJTM wan prestasi dan mendapatkan Suntikan Dana dari Pertamina MPS dengan persetujuan Direktur Utama Baihaki H Hakim yang pembayarannya melalui sejumlah KPS/KKKS termasuk PT. Caltex Pacific Indonesia sebesar Rp. 41,1 miliar, yang disebut oleh Pertamina sebagai “Rescue Package”.



Catatan:



Pernyataan tvOne yang mengatakan bahwa PT. Asuransi Jiwa Tugu Mandiri (PT. AJTM) adalah milik Pertamina, jelas merupakan Pernyataan yang Keliru, karena PT. AJTM bukan Anak Perusahaan Pertamina, apalagi Milik Pertamina. Acuan untuk Pendirian Anak Perusahaan adalah Pasal 6 Undang - Undang RI Nomor: 8 Tahun 1971 Tentang PERTAMINA dan Pasal 1 Ayat (3) Keppres RI Nomor: 122 Tahun 2001 untuk definisi Anak Perusahaan BUMN.

Versi dalam bahasa Inggris akan segera menyusul untuk kami publikasikan.

Kamis, 22 Januari 2009

KPK Melecehkan Ombudsman RI sebagai Lembaga Negara


Setelah atas permintaan Pimpinan KPK (Surat Nomor: R-561/KPK/VIII/2004 tanggal 18 Agustus 2004 kepada BPKP) berkenaan dengan Asuransi Proteksi Kesehatan Pensiunan (PROKESPEN), BPKP menyelesaikan Audit Investigasi – nya pada PT. Caltex Pacific Indonesia (sekarang PT. Chevron Pacific Indonesia) pada tanggal 12 Juli 2007 atau 3 (tiga) tahun kemudian (Laporan Hasil Audit Investigatif Nomor: LHAI-2994/PW30/5/2007 tanggal 13 Juli 2007) dan menyatakan bahwa Pembebanan Dana Rescue Package Sebagai Cost Recovery merupakan penyimpangan yang merugikan Keuangan Negara (Rp.15.144.249.378,72,- pada PT. Caltex Pacific saja), BPKP Deputi Bidang Investigasi Suradji mengirimkan Surat Nomor: S-1075/D6/2/ 2007 tanggal 28 September 2007 berikut dengan lampirannya Surat BPKP yang ditujukan kepada pimpinan KPK, Surat Nomor: R-923/D6/02/2007 bertanggal 14 Agustus 2007, kepada Pelapor.

Karena setelah tambah 4 (empat) bulan berlalu sejak tanggal 28 September 2007 tidak juga jelas tindak lanjutnya oleh KPK, pelapor meminta bantuan Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang kemudian mengirimkan Surat KON Nomor: 006/LNJ.016.2004 /TM-02/II/2008 tanggal 12 Februari 2008 untuk mengetahui perkembangan sejauh mana audit investigasi lanjutan yang sudah dilakukan oleh BPKP, karena pembebanan Dana Rescue Package sebagai Cost Recovery yang merugikan Keuangan Negara ternyata juga terjadi pada 10 (sepuluh) perusahaan lain, sehingga jumlah kerugian Keuangan Negara seluruhnya mencapai Rp.41,1 miliar.

Karena setelah bertambah 9 (sembilan) lagi berlalu dan KPK tidak juga menanggapi Surat KON Nomor: 006/LNJ.016.2004/TM-021/II/2008 tanggal 12 Februari 2008, KON yang berdasarkan Undang – Undang RI No. 37 Tahun 2008 tanggal 7 Oktober 2008 telah berganti nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia mengirimkan Surat susulan Nomor: 0059/LNJ/016/016-2004/TM-02/XI/2008 tanggal 19 November 2008 kepada Ketua KPK, namun yang hingga pada hari ini tidak juga memperoleh jawaban dan/atau tanggapan dari KPK. Apakah itu bukan melecehkan?; Kalau terhadap sesama Lembaga Negara saja KPK mau melecehkan, apalagi kepada rakyat kecil; Apakah Pasal 41 Tentang Peran Serta Masyarakat di dalam Undang – Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak valid? Padahal pelapor memiliki sejumlah Fakta dan Data dari sejumlah kasus “Cost Recovery sebagai Sarana Korupsi Pertamina” lainnya yang Kerugian Keuangan Negara-nya mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah untuk dilaporkan kemudian.

Catatan:

i. Pertamina dalam hal Pembebanan Dana Rescue Package Sebagai “Cost Recovery” pada dasarnya adalah ibarat: “Pagar Makan Tanaman” atau “Maling Teriak Maling”, dan dalam hal lainnya dengan adanya biaya “Entertainment” sebagai sarana/wadah, maka adanya/terjadinya “Conflict of Interest” juga sulit dihindari dan/atau diberantas mengingat: “It takes 2 (two) to Tango”.

ii. Kepolisian RI (Direktur III Pidkor & WCC) dan Kejaksaan Agung (Jampidsus dan Jamintel) menyerahkan dan menunggu tindak lanjut KPK, karena pengaduan sudah ditangani KPK; Juga karena pengaduan sudah dilakukan sesuai prosedur melalui Bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK dan Hasil Audit Investigatif oleh BPKP atas permintaan KPK juga sudah memenuhi ketiga-tiga unsur tindak pidana korupsinya yaitu, Adanya Kerugian Negara, Ada Penyimpangan Peraturan atau Penyalahgunaan wewenang dan Ada yang diuntungkan.

Selasa, 20 Januari 2009

KPK tidak bergigi dan/atau risih dalam membongkar Korupsi di PERTAMINA!
























Sebagai kelanjutan dari – “Cost Recovery sebagai Sarana Korupsi Pertamina” –yang kami publikasikan pada hari Rabu, tanggal 14 Januari 2009, berikut ini adalah kronologi dari kasus Pembebanan Dana Rescue Package sebagai Cost recovery yang berkaitan dengan Asuransi Proteksi Kesehatan Pensiunan (PROKESPEN) pada sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang penanganannya mengalami penundaan berlarut (undue delay) ditangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Catatan:

KPK tidak berwewenang menghentikan perkara atau menerbitkan SP3

1. Kasus dilaporkan kepada KPK pada Akhir Desember 2003 yang ditanggapi oleh Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas pada tanggal 13 Januari 2004 (fotokopi surat jawaban KPK Erry Riyana Hardjapamekas terlampir).

Catatan:

Erry Riyana Hardjapamekas adalah mantan Direktur Utama PT. Timah Tbk merangkap Komisaris – ex – officio (?) – di PT. Asuransi Jiwa Tugu Mandiri (PT. AJTM) tahun 1996 – Maret 2002 pada waktu PT AJTM bermasalah dan mendapat “Suntikan Dana” yang disebut oleh Pertamina sebagai Rescue Package sebesar Rp. 41,1 miliar.

2. Karena tidak kunjung ada tindaklanjut dari KPK, pelapor mengirim surat kepada Ketua KPK bertanggal 23 April 2004 yang disusul dengan surat bertanggal 26 Juli 2004. Jawaban dari Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi adalah Surat nomor: R. 562/KPK/VIII/2004 tanggal 18 Agustus 2004 yang fotokopinya juga kami lampirkan bersama ini.

Itu berarti bahwa KPK tidak melakukan apa-apa selama 7 (tujuh) bulan dari tanggal 13 Januari 2004 sampai tanggal 18 Agustus 2004, sehingga kasusnya “diambil alih” oleh Amien Sunaryadi dari Erry Riyana Hardjapamekas.

3. Pimpinan KPK pada tanggal (18 Agustus 2004) yang sama mengirimkan Surat kepada Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) nomor: R-561/KPK/VIII/2004 tanggal 18 Agustus 2004 (yang merupakan permintaan agar BPKP melakukan Audit Investigatif), sebagaimana tercantum di dalam Surat Penyampaian Laporan Hasil Audit Investigatif (LHAI) dari Deputi Bidang Investigatif BPKP Suradji nomor:R- 923/D6/02/2007 tanggal 14 Agustus 2007 sebagai jawaban BPKP kepada Pimpinan KPK.

Dengan demikian untuk menyelesaikan audit investigasinya pada PT. Caltex Pacific Indonesia saja, BPKP memerlukan dan menghabiskan waktu 3 (tiga) tahun lamanya; Lamanya pelaksanaan audit adalah sebagaimana diuraikan di dalam tanggapan Kepala Biro Hukum dan Humas BPKP H. M. Romli Achfa atas “Pembaca Menulis” di Harian Bisnis Indonesia Edisi: 11/07/2006 (Cuplikan dari Harian Bisnis Indonesia terlampir).

4. Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji mengirim Surat kepada Pelapor nomor: S-1075/D6/2/ 2007 tanggal 28 September 2007 (terlampir) berikut lampirannya Surat Deputi Bidang Investigasi BPKP kepada Pimpinan KPK nomor: R-923/D6/02/2007 tanggal 14 Agustus 2007 yang isinya cukup jelas (comprehensive).

5. TVOne yang melakukan wawancara dengan Pengamat Perminyakan Kurtubi, Deputi BPKP Bidang Investigasi Suradji dan Anggota Komisi III DPR RI Effendi Simbolon (dari fraksi PDIP) di dalam tayangan “Kerah Putih” tentang Rescue Package sebagai Cost Recovery pada bulan Maret 2008, membenarkan tidak patutnya Pembebanan Dana Rescue Package untuk Asuransi Pegawai, apalagi itu untuk Pensiunan, yang dibebankan kedalam (Biaya Operasi sebagai) Cost Recovery yang ditanggung Negara. Deputi BPKP Bidang Investigasi Suradji menegaskan bahwa Audit Investigasi yang dilakukan oleh BPKP adalah atas permintaan KPK (Surat Pimpinan KPK Nomor: R-561/KPK/VIII/2004 tanggal 18 Agustus 2004) dan kasus Pembebanan Dana Rescue Package sebagai Cost Recovery sudah memenuhi ketiga-tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu, adanya Kerugian Keuangan Negara, Adanya Penyimpangan Peraturan dan Ada yang diuntungkan. PT. Caltex Pacific Indonesia (sekarang PT. Chevron Pacific Indonesia) dalam jawaban tertulisnya menyatakan bahwa pemberian Rescue Package sebagai Cost Recovery sudah dengan persetujuan dari Pertamina; Ketua KPK Antasari Azhar memberikan komentar bahwa, pengaduan ke KPK harus mengikuti prosedur melalui Pengaduan Masyarakat (Dumas) dan tidak bisa hanya berdasarkan cerita-cerita atau fotokopi temuan dari BPK dan/atau BPKP sehingga perlu pendalaman/didalami (“Kerah Putih” tayangan tvOne terlampir).

Catatan:

· Pelapor di dalam wawancara “Kerah Putih” tersebut mengatakan bahwa Asuransi PROKESPEN bersifat Sukarela, yang artinya adalah bahwa, (calon) peserta PROKESPEN bebas memilih untuk ikut ataupun menolak ikut PROKESPEN. Konfirmasi bahwa PROKESPEN bersifat sukarela adalah sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Utama PT. Pertamina Ariffi Nawawi di dalam A. Kronologi masalah Butir 2 Surat Nomor: 362/C00000/2004-S8 tanggal 17 Mei 2004 kepada Menteri Negara BUMN dalam menjawab Komisi Ombudsman Nasional, yang menyatakan bahwa target peserta adalah seluruh pekerja KKKS/KPS, yaitu sebanyak 20.000 peserta yang pada pelaksanaannya hanya diikuti oleh 6.279 peserta aktif dan 2.297 peserta eligible (pensiunan termasuk istri/suami yang sudah menjadi Tertanggung PROKESPEN di PT. AJTM).

· Komentar:

i. Ketua KPK Antasari Azhar memang tidak mengetahui (not well informed) bahwa pengaduan sudah dilakukan sesuai prosedur, yaitu sudah melalui bagian Pengaduan Masyarakat KPK dan Audit Investigatif yang dilakukan oleh BPKP adalah atas permintaan KPK juga, atau Ketua KPK Antasari Azhar berbohong untuk mengulur-ulur waktu (buying time) meng – “SP3” – kan kasusnya?

ii. Adanya hambatan terstruktur dalam tubuh KPK untuk meng – “SP3” – kan kasus Rescue Package sebagai Cost Recovery tersebut, karena mantan Pimpinan (Wakil Ketua) KPK Erry Riyana Hardjapamekas, namanya tercantum sebagai Komisaris di PT. AJTM (sebaliknya riwayat singkat pekerjaan Erry Riyana Hardjapamekas dalam website KPK yang justru tidak mencantumkan jabatannya sebagai komisaris PT. AJTM). Tentang rekam jejak perihal kejujuran acuannya adalah Pasal 29 Undang – Undang Nomor: 30 Tahun 2002. Untuk reputasi bahwa kondisi PT. Timah Tbk. teguncang pada periode Erry Riyana hardjapamekas publikasinya dapat di lihat di http://www.sinarharapan.co.id/ceo/2003/1110/ceo1%20.html

Akhirnya (last but not least), terlampir adalah Organization Chart Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Berita tentang “Cost Recovery sebagai Sarana Korupsi Pertamina” berikutnya akan kami publikasikan secepatnya hal itu dimungkinkan.
Note:
Karena video "Kerah Putih" dari tvOne belum dapat di upload ke blogger ini, maka tayangan tersebut akan kami lampirkan di post berikutnya yang berjudul : "KPK melecehkan Ombudsman RI" (apalagi hanya sebuah pengaduan dari masyarakat biasa)



































































































































Senin, 05 Januari 2009

"Cost Recovery" sebagai Sarana Korupsi Pertamina

“Cost Recovery” sebagai Sarana Korupsi Pertamina

Mengacu kepada pemberitaan-pemberitaan tentang “Cost Recovery” di Media Massa yang selama ini lebih terfokus kepada konten dari Biaya Penggantian (Biaya Pemulihan) yang tidak diperinci secara detil, yang merupakan mekanisme dari kontrak kerja sama production sharing atau kontrak kerja sama lainnya di sektor pertambangan Kegiatan Usaha Hulu migas di Indonesia, dan sebagai versi dari Pertamina yang terkesan maunya hanya menyudutkan atau bahkan menyalahkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) – nya saja, pada kenyataannya yang terjadi justru adalah yang sebaliknya.

Introspeksi dimaksud tergambar dari Surat BP Migas dan Menteri ESDM No: 1431 tangal 29 Februari 2008, yang menyatakan bahwa dari keseluruhan item yang berjumlah 33 (tigapuluh tiga), 17 (tujuh belas) item diantaranya masuk di daftar negatif terlarang untuk Cost Recovery. Mengapa setelah berlanjut hampir 35 tahun, hal itu kemudian baru disadari (tentunya setelah banyaknya protes bermunculan disana-sini) ? Apakah dengan diterbitkannya Kepres No. 12 Tahun 1975 yang “mengebiri keuangan Pertamina" dan penyempurnaan rezim perpajakan sektor migas kala itu yang disebabkan penyelewengan dan salah urus Pertamina pada era Ibnoe Soetowo, sehingga Pertamina mencari celah-celah lainnya! Perbaikan dan/atau penyempurnaan untuk efisiensi tersebut ternyata belum mencakup/menyentuh celah-celah untuk maladministrasi lainnya seperti halnya pada “Cost Recovery”. Maka adanya tuduhan bahwa Pertamina sarat dengan KKN sangatlah beralasan.

Dengan demikian permasalahan utamanya bukanlah pada sistem, tetapi pada perilaku sementara oknum pimpinan Pertamina maupun oknum mantan pimpinan Pertamina yang dilakukan secara berkesinambungan (estafet).

Sebuah contoh Fakta yang gamblang, disamping sebuah Fakta lainnya yang juga jelas yang masih terus berlangsung sampai sekarang (dari sejumlah Fakta lainnya lagi yang kami ketahui berdasarkan Data Otentik yang kami miliki) adalah sebagai berikut:

Kasus Asuransi Proteksi Kesehatan Pensiunan (PROKESPEN) para KKKS yang diadakan oleh Pertamina dalam kerjasamanya dengan PT. Asuransi Jiwa Tugu Mandiri (PT. AJTM).

A. Kronologi masalah.

1. PROKESPEN yang adalah sebuah produk asuransi jiwa dalam bidang perawatan kesehatan pensiunan yang ditawarkan oleh PT AJTM dalam kerjasamanya dengan Pertamina ke sejumlah wilayah operasi PT. Caltex Pacific Indonesia (PT. CPI) di Sumatra pada akhir Mei 1992 (fotokopi CPI Daily News edisi Monday, June 1, 1992 terlampir).

2. PROKESPEN sendiri adalah Kontrak Asuransi biasa antara PT AJTM sebagai Penanggung dengan PT. CPI sebagai Pemegang Polis Kumpulan. Sesuai dengan Kontrak Asuransi (PROKESPEN Polis No. KP92030 pada PT. CPI) dan Azas Asuransi: “Premi dibayar (lunas dimuka), Risiko beralih (kepada Provider/Perusahaan Asuransi berkenaan)”, maka pihak yang ditanggung adalah pensiunan PT. CPI (termasuk istri/suami), sedangkan Peserta Aktif (pegawai sejumlah KKKS termasuk pegawai PT. CPI dan istri/suami) menjadi Penyandang Dana sampai para peserta aktif mencapai pensiunnya pada usia 56 tahun (biaya pengobatan peserta aktif dan keluarganya (kandung) sepenuhnya masih ditanggung oleh masing-masing KKKS bersangkutan). Pembayaran premi dilakukan secara sekaligus (cash) oleh peserta pensiunan termasuk istri/suami, sedangkan peserta aktif secara bulanan. Sedangkan PT. CPI adalah Pngumpul dan Penyetor premi kepada PT. AJTM (PT. CPI tidak menanggung pembayaran premi asuransi). Tambahan pula PROKESPEN juga tidak tercantum di dalam daftar Program Kesejahteraan Pekerja dalam Program Pilihan CPI Policy (Buku Peraturan PT. CPI), sejak PROKESPEN dibentuk dan diberlakukan sejak 1 Juli 1992 sampai PROKESPEN dibubarkan pada 31 Desember 2000. Dan karena PROKESPEN bersifat Sukarela – calon peserta bebas memilih untuk ikut atau menolak ikut asuransi jiwa termasuk menolak PROKESPEN – maka target peserta seluruh pekerja KKKS, yaitu sebanyak 20.000 peserta, pada pelaksanaannya hanya diikiuti oleh 6.279 peserta aktif dan 2.297 peserta eligible (pensiunan termasuk istri/suami).

3. Sejak tahun 1999 PT. AJTM sebagai penyelenggara PROKESPEN menyatakan ketidak mampuannya membayar klaim berobat para peserta eligible-nya.

B. Penanggulangan dan dalih (excuse) dari Pertamina MPS (Management Production Sharing).

1. Direktur Pertamina MPS Effendi Situmorang dengan persetujuan Direktur Utama Pertamina Baihaki H Hakim memberikan Suntikan Dana yang disebutnya “Rescue Package” kepada PT. AJTM sebesar Rp. 41,1 miliar yang mulai dikucurkan tahun 2000 sampai 2003, yang pembayarannya melalui PT. CPI saja diketahui sebesar RP. 15.144.249.378,72.

2. Alasan Direktur Utama PT. Pertamina (Persero) Ariffi Nawawi a/n. BP Migas Kegiatan Usaha Hulu di dalam Surat Tanggapannya kepada Menteri Negara BUMN No. 362/C00000/2004-S8 tanggal 17 Mei 2004 dalam menjawab Komisi Ombudsman Nasional (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), yang fotokopinya kami lampirkan bersama ini, menyatakan bahwa “Rescue Fund” yaitu Dana Penyelamatan tersebut adalah untuk “menutup kekurangan premi” berkaitan dengan penyelenggaraan PROKESPEN bagi pekerja KKKS termasuk pekerja PT. CPI. Diadakannya PROKESPEN dinyatakannya adalah berdasarkan SK Kepala BPPKA (Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing) Pertamina No. Kpts-5836/10122/91-B1 tanggal 7 Juni 1991. Pada kenyataannya suntikan dana yang diberikan oleh Pertamina MPS melalui para KKKS termasuk PT. CPI kepada PT. AJTM, hanyalah dikait-kaitkan dengan 2.297 peserta eligible (1.600 orang diantaranya eks PT. CPI), tidak termasuk peserta aktif.

Suntikan dana tersebut diberikan meskipun pembayaran premi dari peserta eligible maupun dari peserta aktif di PROKESPEN, seluruhnya sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pembayaran premi dan maslahat yang berlaku yang dibuat oleh PT AJTM sendiri. Dengan demikian, maka ketidak sanggupan PT. AJTM melanjutkan PROKESPEN bukan disebabkan oleh kekurangan (pembayaran) premi dari peserta, tetapi disebabkan Kesalahan PT. AJTM dalam Perhitungan premi dan maslahat PROKESPEN. Khususnya karena PT. AJTM menggunakan target kepesertaan yang merupakan Prediksi Pertamina sebagai patokan yang ternyata meleset, disamping disebabkan masa pertanggungan selama 24 (56 sampai 80) tahun yang terlampau panjang.

Catatan:

Sebagai informasi, berdasarkan Tambahan Berita-Negara R.I. tanggal 27/1 – 1987 No.8

· Salah seorang Pendiri PT AJTM dengan saham Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan terbesar kala itu adalah Tuan Abdul Rachman Ramly selaku seorang Pengusaha, yang hingga tahun 1992 adalah juga Direktur Utama Pertamina merangkap Komisaris PT. AJTM. (sebagai awal terjadinya maladministrasi).

· PT. AJTM bukan Anak Perusahaan Pertamina berdasarkan Pasal 6 Undang – Undang No. 8/1971 Tentang Pertamina, karena Pendirian PT. AJTM dilakukan tanpa adanya persetujuan Presiden RI. PT. AJTM juga bukan Milik atau Anak Perusahaan Pertamina berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Kepres No. 122 Tahun 2001 Tentang Tim Kebijakan Privatisasi BUMN yang berbunyi sebagai berikut: “Anak Perusahaan BUMN adalah Perseroan Terbatas yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN”.

· Berdasarkan Pasal 16 Ayat (1) Undang – Undang No.8/1971 Tentang Pertamina menyatakan bahwa Kebijaksanaan Umum Perusahaan (Pertamina) adalah wewenang Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP).

· Selanjutnya, Maladministrasi sendiri adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perorangan.

· Sedangkan “Cost Recovery” adalah: Biaya Penggantian yang bisa diklaim KKKS kepada pemerintah bila kawasan pertambangan yang dieksploitasinya telah berproduksi; Jika KKKS gagal berproduksi, seluruh biaya menjadi risiko KKKS yang bersangkutan! Dengan demikian diajukan dan datangya klaim seharusnya dari para KKKS.

· Perhitungannya dilakukan sebelum hasil produksi dibagi antara pemerintah dan Kontraktor, sehingga besaran “Cost Recovery” akan mempengaruhi bagian yang diterima pemerintah dan kontraktor. Namun biaya penggantian itu pada dirinya sendiri, sesuai dengan bunyi dan arti serta maksud maupun tujuannya tidak pernah akan merugikan para KKKS.yang menalangi dana (sebagai pemilik modal). Sistem penggantian untuk biaya yang ditalangi para KKKS tersebut, hanya dapat membuat keuntungan para KKKS berkurang, namun "tidak merugikan para KKKS". Karenanya para KKKS, termasuk PT. CPI juga tidak pada posisi untuk dapat menolak sejumlah penyimpangan yang direncanakan dan/atau sedang dan telah dilakukan oleh sementara oknum pimpinan Pertamina.

Surat Direktur Utama PT. Pertamina (Persero) Ariffi Nawawi Nomor: 362/C00000/2004-S8 tanggal 17 Mei 2004 dimaksud diatas jelas bersifat defensif (apologetic) dengan mencoba memutarbalikan dan/atau memelintir fakta yang terjadi, karena fungsi dan tugas serta wewenang Pertamina (sebagai manajemen para KKKS) adalah melakukan Pengawasan (Supervision) dan Pengendalian (Control) atas Rencana Kerja (Work Program) dan Anggaran (Budget) termasuk pemantauan (monitoring) dalam pelaksanaannya di lapangan, bukan ikut menjadi pemain, sehingga juga memberi kesan adanya “Conflict of Interest”.

Akhirnya, pokok atau akar dari permasalahan PROKESPEN adalah Kebijakan oknum mantan pimpinan Pertamina dalam mengakali negara dan rakyat Indonesia. Hal itu untuk tidak mau dikatakan ibarat “pagar makan tanaman” atau “maling teriak maling”, karena sesungguhnya PT. AJTM hanya dijadikan “kendaraan” oleh oknum mantan pimpinan Pertamina dalam menjalankan usaha sampingan mereka, dengan cara mendanai kegiatan usaha PT. AJTM, tetapi menggunakan Biaya Operasi para KKKS yang dibebankan kedalam “Cost Recovery” atau Biaya Penggantian para KKKS bersangkutan.

Demikian Fakta dan Data

Fakta berdasarkan Data tentang “Cost Recovery” yang disalahgunakan lainnya oleh Pertamina yang mencapai ratusan bahkan mencapai triliunan rupiah akan kami publikasikan pada kesempatan pertama berikutnya.